What’s the Appeal of Ham Radio?

http://www.unclebam-yb0ko.com/why-ham-radio.html


YB0KO, Bambang Soetrisno

What’s the Appeal of Ham Radio? 

(quoting — and editing a bit — a few lines from www.hello-radio.org) Some hams are attracted by the ability to communicate across the country, around the globe, or even with astronauts on space missions. Others may like to build and experiment with electronics. Computer hobbyists enjoy using Amateur Radio’s digital communications opportunities. Those with a competitive streak enjoy “DX contests,” where the object is to see how many hams in distant locations they can contact. Some like the convenience of a technology that gives them portable communication. 
Mostly we use it to open the door to new friendships over the air. We do it either through participation in one of the nets, or simply by joining an on going “ragchewing” easily found in any ham bands.
BTW, following is “a bit polished & edited” e-mail I wrote back in 2010, in responding to a query from YL Clara Endah Triastuti (Titut) … who was at that time needed some basic information on “what Ham radio is all about” to compliment the thesis she was working out for her S-3 degree (PhD) in the University of Wollongong, NSW, Australia. 
Pse note that the word INA in the following text refers to (and is the abbreviation of) Indonesia
————————
mbak Titut ing paran,
di awal threads ini pernah saya sampaikan bahwa hard disk saya crashed beberapa minggu/bulan yll, dan sejak itu praktis saya kehilangan NYARIS semua “ilmu” yang tersimpan dalam beberapa folders di hard disk yang tidak/belum saya buatkan back up-nya (dan rupanya gagal di-recovery walaupun sudah sempat berpindah-pindah tangan di antara beberapa “tukang oprèk” crashed HD yg di Glodok sana) .
Nah, hari Kamis 13/05 kemarin, pas kalender merah (hari libur resmi) di INA, saya manfaatkan waktu untuk mengunduh (down loading) file-file yang tersimpan sebagai Attachments di folder Sent Mail pada webmail (gmail.com) saya, sampai terkumpul puluhan files dated back sampai bulan-bulan awal 2008, yang saya rasa cukup untuk melengkapi orek-orekan dalam responding to your queries (and virtual interviews) in the past few days, yang saya “ombyok-in” aja jadi satu di imil sekarang ini, sbb. : 
1. The “breakers”:
FYI, terminoloji “breaker” secara “resmi” tidak masuk dalam vocabulary radio amatir, walaupun para amatir radio juga melakukan kegiatan ‘nge”break” sebagai porsi utama dari kegiatan radio amatir itu sendiri.
Istilah BREAKER lebih umum dipakai di lingkungan CB-ers (CB = citizen-band = spektrum frekuensi 27 MHz atau band 11 mtr), atau yang di Indonesia dikenal sebagai KRAP (Komunikasi Radio Antar Penduduk) dengan RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia) sebagai wadahnya.
Walaupun sebagai “breaker” amatir radio dan CB-ers sama-sama meng-claim dirinya sebagai OPERATOR Radio, di tahun 70-an OM Soewondo YBØAT (SK) — sebagai hobbiist beliau waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum ORARI Pusat, sedangkan sebagai profesional (Marsekal Udara dengan dua bintang di pundak) beliau adalah Ketua G-6 (membawahi bidang KOMLEK/Komunikasi dan Elektronika) HANKAM — pernah memberikan definisi berikut untuk membedakan kedua “species” pengguna frekuensi tersebut:
Amatir Radio adalah (seorang) operator ber-lisensi (licenced operator) yg meng-operasi-kan (to operate) perangkat (radio) telekomunikasi-nya, sedangkan CB-er(s) adalah sekedar KOMUNIKATOR yang ber-komunikasi (to communicate) dengan menggunakan perangkat (radio) telekomunikasi, atau untuk singkatnya sering disebutkan: A Radio Amateur is an OPERATOR, while a breaker (CB-er) is merely a COMMUNIATOR. 
Karenanya, untuk membuktikan bahwa seseorang memang MAMPU atau MUMPUNI (capable) untuk mengoperasikan perangkat radionya (dalam kapasitas sebagai seorang operator/Amatir Radio), maka orang tersebut HARUS mengikuti ujian (negara) untuk mendapatkan “laisens” (sekarang disebut IAR/Izin Amatir Radio)-nya. 
Callsign (Prefix, Call Area dan Suffix)
Sebagai seorang Amatir Radio, begitu lulus ujian di samping mendapatkan IAR maka yang bersangkutan akan mendapatkan tanda pengenal (Callsign), yang terdiri dari rangkaian huruf dan angka: dua huruf Prefix, angka Ø ~ 9 yang menunjukkan Call Area dimana yang bersangkutan berdomisili, dan beberapa huruf Suffix (yang sifatnya individual, dalam arti “melekat” pada diri si penyandang). 
Di INA Prefix sekaligus menunjukkan tingkat kecakapan yang bersangkutan, yang terdiri dari huruf-huruf YH (tingkat Pemula), YD/YG (Siaga, seperti pada OM Yono yang YDØNXX), YC/YF (Penggalang, seperti OM Onno yang YC1DAV waktu beliau masih di Bandung, dan YCØMLC sekarang) dan YB/YE (Penegak, seperti YBØAT (SK) yang saya sebut-sebut sepanjang thread ini, dan juga rekan di Bandung OM Gatot Dewanto YE1GD).
BTW, huruf (SK) di belakang nama/callsign seseorang mengindikasikan bahwa yang bersangkutan sudah SILENT KEY — harafiah berarti “sudah tidak dapat mengethuk (kunci kethuk) lagi” — atau sudah meninggal dunia]
Tingkat kecakapan akan menentukan privilege dan restriksi yang didapatkan yang bersangkutan sebagai seorang operator Radio Amatir, mis. : mode yang digunakan dalam berkomunikasi (CW/telegrafi, voice: AM/FM/SSB, dijimode dsb), daya pancar (transmitted Power), frekuensi/band untuk establishing QSO/ber-komunikasi (yang tentunya harus bersifat 2-way/dua arah: to send to or transmitting dan to receive information from the other side(s), seperti band 80m (frekuensi 3.500 – 3.900 MHz), 40m (7.000 – 7.200 MHz), 20m (14.000 – 14.350 MHz),15m (21.000 – 21.350 MHz), 2m (144 – 148 MHz) … dll.
[untuk rincian deskripi tentang Callsign, privilege/restriksi yang valid (current) pada saat penulisan ini silah baca Peraturan Menteri KOMINFO nr. 33/PER/M.KOMINFO/08/2009 atau yang lazim juga disebut sebagai PERMEN 33/2009]
BTW, CB-ers juga punya Callsign (JZ + angka + individual suffix), tetapi karena mereka bisa mendapatkan callsign tersebut TANPA harus mengikuti ujian (cukup dengan mendaftar/registrasi di sekretariat RAPI setempat) maka Prefix tersebut tidak berkaitan dengan atau menunjukkan tingkat kecakapan apapun. Regulasi seperti ini (CB-ers tidak harus mengikuti uijian) berlaku di semua Negara di mana kegiatan CB atau komunikasi antar penduduk di bolehkan menurut peraturan/perundangan yang berlaku di Negara tersebut.
[di Amerika dan Australia –- sebelum datangnya era penggunaan telepon seluler — CB ini pernah sangat populer di antara para truckers yang melayani route-route high-ways antar negara bagian (inter states) ataupun coast-to-coast. 
Di samping untuk killing time mengatasi kejenuhan dalam perjalanan berjam-jam atau bahkan berhari-hari itu, CB mereka perlukan untuk koordinasi antar mereka, untuk menghubungi kantor pusat maupun kantor di kota tujuan, untuk mendapatkan back up lojistik (pompa bensin, motel di pinggir jalan, rest areas … zaman itu selalu dilengkapi perangkat CB). Juga untuk saling mengingatkan kalau lagi ada razia petugas Highway Patrol, atau adanya pos-pos speed radar (!!!) … 
(kalau anda sempat atau pernah nonton film “Smokey and the Bears” anda bisa saksikan kucing-kucingan antara para truckers dengan petugas polisi itu. Saya sudah lupa pastinya yang mana yang smokey dan yang mana yang beruang, but my gut’s feeling kok bilang Smokey adalah julukan bagi para sopir, and the other way around sebutan Bears apllies to the Police 😉
Catatan:
Zaman pra ORARI, Prefix yang dipakai di Indonesia (sejak masih zaman Hindia Belanda doeloe) adalah PK, menuruti “jatah” Prefix PAA – PZZ yang “pada zaman-nya” berlaku bagi negeri Belanda dan koloninya (seperti Hindia Belanda (INA) dapat “jatah” huruf-huruf antara PKA-POZ, Netherlands Antilles PJA-PJZ, Brasil PPA – PYZ, Suriname PZA – PZZ, dll), yang untuk era sekarang “rawan” untuk jadi “rancu”/confusing dengan prefix yang sama yang dipakai dinas-dinas lain (misalnya ada callsign PKI yang dipakai oleh/diassign untuk stasiun pantai (coastal station, di bawah DitPerLa – Direktorat Jenderal Perhubungan Laut) di Jakarta (dan juga untuk kapal-kapal laut berbendera Indonesia, seperti armada PELNI), callsign PKGxxx dipakai oleh pesawat-pesawat GARUDA, PKMxxx oleh MNA/Merpati Nusantara Airlines (dan dengan huruf ke-3 yang berbeda untuk airlines lain yang berbendera Indonesia, pengaturannya di bawah Dinas PenSip/Penerbangan Sipil/Ditjen Perhubungan Udara), PK2SC untuk Radio Elshinta (CMIIW, tapi “model” susunan huruf + angka seperti itu berlaku di lingkungan Radio Siaran/broadcasters)..
Sekitar tahun 50an, prefix JZ (seperti yang sekilas disebut di atas, yang sekarang dipakai rekans CBers) juga PERNAH dipakai oleh amatir radio INDONESIA, khususnya oleh amatir radio asing (foreigners) yang mendapat izin untuk ber-operasi di sini (mis.: Harry Diemondt JZØODA (ex PK1AD/PK4IM, yang mengindikasikan juga bahwa sebelumnya yang bersangkutan pernah tinggal dan beroperasi dari Jawa Barat dan Sumatra Selatan), Henry J Schrier JZØKF ex PAØGF, yang menunjukkan yang bersangkutan “asli”nya adalah amatir radio dari Negeri Belanda).
Angka Ø (zero) pada callsign JZØ tersebut menunjukkan bahwa kedua amatir “bulé” tersebut mengudara dari wilayah Papua, yang di zaman itu masih bernama “Netherlands Nieuw Guinea” (sekarang angka Ø mengindikasikan call area DKI Jakarta).
BTW, di era modern — tahun 80-90an — callsign PAØAGF disandang oleh Mr. Aucke F Gerbens (SK), “boss” saya waktu masih kerja di lingkungan Philips Indonesia (baca juga halaman C’est moi to know more about me, my hobby, and my profession)
Catatan:
Kalau kebetulan berada di bandara, sebelum naik ke pesawat (atau dari jendela pesawat, sebelum take off) silah amati pesawat terbang yang berjejer di apron; di sayap dan ekor masing-masing pesawat terpampang jelas call sign PKxxx bagi pesawat berbendera Indonesia, VKxxx bagi pesawat berbendera Australia (mis.: QANTAS), 9V untuk pesawat SIA/Singapore Air Lines, HSxxx untuk Thai Airlines, Nxxx bagi pesawat berbendera Amerika semisal Northwest Airlines, dan sebagainya …
2. Tentang “breakers” legal dan illegal:
Dari blah-blah-blah di butir 1 di atas, tentunya bisa ditarik benang merah untuk membedakan mana breaker yang legal (= mereka yang ber-callsign), dan mana yang illegal (= those NON callsigners, tapi bekerja di frekuensi atau band yang sebenarnya assigned to those callsigners – yang tentunya tidak terbatas para Amatir Radio saja).
Di tahun ’67-’68 yang disebut-sebut sebagai era “kebangkitan” radio amatir di INA, nyaris SEMUA pengguna frekuensi ini menyebut diri (dan kelompoknya) sebagai radio amatir atau radio eksperimen (disingkat Radam atau Radex/Radeks .. seperti di “kampung” saya doeloe ada Radam CAM2/Corps Angkatan Muda Muhammadiyah, dan REXOB, Radio Eksperimen Orde Baru (sic.), namun pelan-pelan kemudian terjadi pemisahan antara mereka yang mengarah ke penggunaan radio sebagai sarana komunikasi 2-arah (disebut juga amatir QSO, atau amatir koling-kolingan – karena radionya dipakai untuk saling “Call” atau “memanggil”); dan mereka yang lebih mengarah ke penggunaan radio sebagai sarana siaran (broadcast), thus yang sifatnya one-way.
Pada awalnya “pemisahan” ini tidak terlalu tegas dan kasat mata, karena banyak (atau bisa dibilang hampir semua) yang menjalani peran ganda: siang hari radionya dipakai untuk siaran (dengan “pola” yang nyaris sama di seluruh negeri: puter lagu, kirim-kiriman salam sayang, atau yang lebih “smart” lantas menjual “kupon” stensilan – – jaman itu belum ada mesin fotokopi – – untuk acara “anda meminta kami memutar” atau sejenisnya); kemudian di malam hari, lewat jam 23.00 keatas “siaran” ditutup dan radionya kemudian dipakai untuk koling-kolingan, yang pada awalnya bertolak dari niatan untuk sekedar mengecek sampai seberapa jauh jangkauan pancarannya. 
Banyak yang sebenarnya “tanpa sengaja”, atau tanpa tahu KENAPA*) lantas menggunakan frekwensi yang secara tehnis memang memungkinkan komunikasi jarak jauh di MALAM HARI, karenanya pada era itu amatir koling-kolingan ini lebih identik dengan mata merah dan tampang lusuh karena kebiasaan “ngalong”, bergadang sampai pagi di depan pemancar (plus tubuh kerempeng karena terdadah/exposed ke pancaran RF dari pemancar tabung (valve/tube) ber-voltage tinggi (> 600 VDC) yang umumnya tidak diberikan pelindung/shielding yang memadai secara tehnis).
Sejalan dengan upaya pembinaan dari pihak otoritas (lihat paragraph berikut tentang “sweeping”) dan “kesadaran” dari para amatir sendiri, pelan-pelan “pemisahan” mulai terlihat tegas: antara mereka yang bercallsign dan bekerja di band/frekuesi yang memang assigned untuk Radio Amatir*), dan para Radio Gelap (bahasa kerennya “clandestine radio”) yang bekerja di frekwensi, mode dan operating procedures yang “suka-suka dia” aja (misalnya dengan seharian muter lagu tanpa jeda, nyerocos “siaran” tanpa menyebutkan identitas dan lokasi, “mojok” atau kencan di udara …. serta berjenis ulah dan laku “lajak” lainnya …)
*) sampai tahun 70an, di radio penerima “rumahan” – yang dipakai ortu atau kakek nenek kita ‘ndengerin misalnya Ketoprak Mataram dari RRI Nusantara II Yogyakarta, atau gending/tembang Cianjuran dari pesinden Upit Sarimanah dari RRI Bandung – terutama dari jenis pesawat radio “berkelas” dengan merk-merk Eropah seperti Philips, Erres, Grundig, Löwe dan sebagainya di papan gelombangnya tertulis (atau ditandai) dengan jelas “band assignment” tersebut, misalnya dengan tulisan: 80m Amateur Radio band … di samping tanda-tanda/markings untuk broadcast band, seperti 120m, 90m, 75m, 60m, 49m, 41m dan seterusnya. Pada era itu lazim juga pada papan gelombangnya diterakan pembagian antara band MW/medium wave dan SW/short wave, yang tergantung “merk” dan “kelas”nya bisa saja mencakup SW-1, SW-2 s/d SW-6) 
Mengikuti perjalanan waktu (dan bertambah pinter-nya para ”oknum” yang memang demen ber’laku lajak” itu) peta (mapping) per-radio-an di tanah air justru makin ke sini makin bertambah KUSUT, seperti yang akan saya wedar [asal kata wedaran (Jw) = perut, isi perut, jadi ‘ngawedar = mengeluarkan isi perut (atau uneg-uneg), atau kurang lebih = curhat dalam bahasa gaul sekarang] di paragap berikut … 
3. Tentang “sweeping” 
Di manapun di muka bumi ini – terlebih di negeri-negeri “beradab” – “sweeping” atau “razzia” sebagai bagian atau bentuk dari upaya penegakan hukum (law enforcement) selalu bisa ditemui, walaupun “kadar” dari tindak lanjut yang mengikuti sweeping tersebut bisa berbeda seperti bumi dan langit antara di satu negeri/Negara dg negeri/Negara lain.
Di INA, pada zaman Orla, sweeping bisa dilakukan aparat KODIM setempat (ini sesuai dengan kondisi HANKAMNAS di tanah air pada waktu itu yang berada dalam status SOB/Staat van Oorlog en Beleg atau harafiah berarti “dalam keadaan perang dan pengepungan”) yang merazia dari pintu-ke-pintu untuk mencari para SWL/short wave listener **) – hobiist pendengar siaran radio di gelombang pendek, yang di zaman konfrontasi dengan Malaysia di era itu curi-curi ‘nguping (bener-bener kuping ditempelin speaker radio, supaya ‘nggak kedengaran sampai keluar rumah) mendengar siaran dari Radio Malaysia (di gelombang 49 dan 41m), VOA/Voice of America (a.l. di gelombang 25m), BBC London (dengan banyak relay stations di kawasan “Timur Jauh” ini, sehingga bisa dengan mudah ditangkap di 60, 49, 41, 31 dan 25m) yang memang di”haram”kan oleh Pemerintah pada waktu itu (yang menganggap Malaysia adalah “negara boneka NEKOLIM/neo kolonialisme dan imperialisme” bentukan Inggris dan Amerika). Di samping radio di sita, kalau lagi sial pemiliknya bisa-bisa dijatuhi hukuman kurungan, atau lebih sial lagi di”cap” mata-mata, dan hukumannya jadi masuk ranah hukum pidana “subversib”.
**) banyak amatir radio yang mengawali ke”gila”annya sama radio dengan menjadi SWL ini. Seperti disebut di atas, di pesawat radio zaman lawas papan (display) gelombangnya selalu ditandai/tercantum band (atau gelombang) untuk Amatir radio, yang “kebetulan” (bukan dalam konotasi “fortunately”, karena semua itu sebenarnya ada dasar hukumnya (RR/Radio Regulation yang diterbtkan oleh ITU/International Telecommunication Union, regulator global/mondial yang berpusat di Geneve, Switzerland) dengan pertimbangan plus perhitungan tehnis-nya) selalu berada dekat-dekat dengan band yang dijatahkan untuk radio siaran (broadcast), misalnya band amatir 80m dekat atau berjejeran dengan “riak gelombang” (begitu istilah yang dipakai para penyiar radio zaman itu) 75m (FYI dari jadoel ada stasiun RRI – ato NIROM pada zaman Hindia Belanda – dari Semarang, Soerabaia (ejaan era itu), Mataram, kemudian dari luar ada All India Radio, BBC ….), kemudian band amatir 40m berjejeran dengan gelombang 41m, band amatir 20m berada dekat gelombang 25m dan seterusnya). 
Sejalan dengan curiosity, eagerness to know more dan naluri berburu (hunting) “stasiun BARU” — sifat-sifat dasar para SWL yang sebenarnya juga dimiliki amatir radio — tidak mustahil jemari yang muter tombol pencari gelombang membawanya ‘nyasar ke salah satu band amatir yang disebut di atas, yang bagi mereka tentunya akan menarik sekali untuk mengamati bagaimana para amatir radio tersebut saling ber two-way communication (ketimbang radio siaran yang sifatnya one-way), saling mengirim QSL-cards (acknowledgement atas well established-nya sebuah QSO — yang juga merupakan kebiasaan di lingkungan SWL).
Karena kesamaan “naluri” inilah banyak SWL yang semula hanya menjadi “pendengar pasip” lantas stepping forward dengan ikut UNAR dan bermetamorfosa menjadi amatir radio, dan karena sebelumnya sudah bertahun terbiasa (dari mendengar) dengan operating procedures yang baik, biasanya mereka kemudian menjadi amatir radio yang baik juga.
Di era kebangkitan Orde Baru dan kebangkitan radio non RRI dan non siaran, sweeping dilakukan oleh aparat gabungan (misalnya SKOGAR – tingkat Garnizun atau ke-wali kota-an, KMKB-DR/komando Militer Kota Besar Djakarta Raya, atoau gabungan aparat di bawah koordinasi HUBDAM setempat untuk kota-kota besar lainnya. Yang disasar adalah para radio gelap yang disebut di paragrap 2, dan sejalan dengan filosofi SECURITY APPROACH yang dianut fihak otoritas pada masa itu, sangsi (kalau tertangkap) juga cukup berat, minimal pemancar (dan peralatan studio lainnya) di sita, dan “operator”nya di-inepin di sel-sel tahanan institusi militer tersebut (BUKAN di tahanan kepolisian atau kejaksaan seperti pada kasus-kasus pelanggaran di ranah sipil/civilian biasa).
Beruntung rekans yang pada masa itu tinggal di Bandung (dan Jawa Barat umumnya), aparat yg bergabung di bawah Komando Pertahanan Subversi Daerah di bawah pimpinan AKBP Tommy Fattah bersikap lebih luwes (ketimbang di daerah lain) dalam “mengawasi” kegiatan illegal ini. “Pemanggilan” terhadap para aktivist per-radio-an (baik yang 2-way maupun yang one-way) tersebut lebih bersifat ke upaya pembinaan, yang bermuara ke pembentukan “organisasi” PARB (Persatuan Amtir Radio Bandung) — yang notabene akan memudahkan fungsi kontrol/pengawasan – yang akhirnya menjadi salah satu embrio bagi terbentuknya ORARI, organisasi amatir radio yang berskala nasional. 
… banyak rekan amatir yang percaya hal tersebut tidak lepas dari arahan Jendral Polisi Hoegeng YBØBG, KAPOLRI pada saat itu, yang dikenal sebagai pribadi dan amatir radio yang humble, sedikit bicara tapi banyak bertindak nyata … 
Manakala situasi sudah “aman terkendali” (jargon yang saat itu populer di lingkungan otoritas), nama AKBP Tommy Fattah tersebut diabadikan dalam bentuk TOMMY FATTAH Memorial Station dengan callsign YB1ZA]
Pola yg sama berlaku juga di daerah-daerah lain (Jateng, Jatim, KalBar dll), di tempat-tempat mana fihak otoritas “kebetulan” berada ditangan pejabat yang mengerti dan/atau mau mengerti (apalagi kalau sampai appreciate) dinamika yang berlangsung di lingkungan per-radio-an itu. Di tempat-tempat seperti itu kemudian muncul dan terbentuk organisasi amatir radio seperti PARI (Persatuan Amatir Radio), PRAI (Persatuan Radio Amatir Indonesia), PRAJOGA (Persatuan Radio Amatir Jogjakarta) dan sebagainya.
Situasi “aman terkendali” seperti ini dimana-mana secara bertahap mendorong Pemerintah untuk mengalihkan fungsi kontrol dan pengawasan dari fihak militer ke fihak sipil, yang dalam hal ini berada dibawah Departemen Perhubungan (dan kemudian Dep. KOMINFO), dengan Ditjen POSTEL dan dinas terkait (seperti dulu ada Dinas Monitoring dan Pengendalian Spektrum Frekuensi,atau yang sekarang disebut SDPPI dengan BALMON/Balai Monitoring sebagai institusi pelaksananya)
Betapapun, di lapangan (atau dunia nyata, the real world) mengendornya pengawasan dan melunaknya sanksi yang diberikan atas pelanggaran di hampir semua lini kehidupan bernegara, membuat fenomena “kenapa harus legal — dan bayar lebih – kalau do it illegal way toh bisa berjalan “aman-aman saja” kian hari kian merebak hampir di seantero kawasan negeri (!)
Law enforcement seolah jadi slogan kosong, yang membuat mereka “yang masih waras” dan menafikan “ora melu edan ora keduman” (kalau ‘nggak ikut gila ‘nggak kebagian) hanya bisa ‘ngelus dada (yang — minjem istilah mbak Titut sendiri — mostly “no longer perky” itu)
Di bidang radio dan penggunaan frekuensi, diberlakukannyanya berjenis peraturan yang dianggap “merepotkan” mendorong para “calon” pengguna frekuensi untuk mengambil jalan pintas: do it the illegal way, apalagi kemudian tumbuh dan berkembang paradigma baru: UUD, ujung-ujungnya duit ..
(sebut saja misalnya keharusan memiliki IAR bagi amatir radio; call sign RAPI yang toh bisa didapat dengan hanya mendaftar ke Sekretariat; stasiun broadcast non RRI — lazim disebut radio siaran swasta niaga — harus dikelola oleh Badan Hukum; birokrasi dalam pengurusan izin untuk memiliki dan menggunakan pemancar bagi pengguna komersial yang memerlukan komunikasi antara kantor Pusat yang biasanya berada di Jakarta dan daerah operasi yang tersebar di pulau-pulau yang berada di luar jangkauan sarana Telekom reguler (= jaringan telpon dr PERUMTEL). 
Contoh kasus lain adalah mahal dan lamanya masa tunggu bagi pengadaan sambungan telepon di kota-kota besar — bahkan di Jakarta sendiri — , akhirnya mendorong calon pelangan telpon di Jakarta dan kota-kota besar lainnya untuk kemudian beralih menggunakan pesawat atau HT/handy talkie di band 2m.
Akibatnya bisa diduga, pemancar gelap muncul di mana-mana, di semua spektrum frekuensi (HF, VHF …), dengan dilatari berragam motivasi yang mendorong timbulnya keinginan atau kebutuhan untuk “mengudara”. a.l. karena iseng (biasanya dengan memutar lagu seperti di saat mulai tumbuhnya radio siaran seperti disebut di depan); frustasi karena tidak lulus sesudah beberapa kali ikut ujian (biasanya lantas jadi tukang nge-JAM/jammer, yang “menimpa” dan mengganggu pancaran stasiun-stasiun legal); “jealousy” (melihat rekan lain “bebas” berlaku lajak, kenapa aku tidak “boleh” melakukan hal yg sama ???); duit (misalnya seorang, atau sekelompok orang, atau bisa saja berbentuk perusahaan, yang menerima imbalan untuk setting up sistim komunikasi bagi perusahaan atau instansi tertentu, serta menyelenggarakan jasa perawatan dan perbaikan – maintenance and repair services – bagi sistim yg sudah dipasangnya).
BTW, betapa parah sikon pada waktu itu dapat diikuti dari beberapa “kisah nyata” beriku ini ….
Di awal 80an, saya mendapat masalah waktu memperkenalkan dan memperagakan teknoloji satellite navigation & positioning di kantor Janhidros (Jawatan Hidrografi dan Oceanografi) TNI/AL di jl Gunungsahari, dihadapan para pejabat Janhidros dan BAKOSURTANAL (Badan Koordinasi Survai dan Pemetaan Nasional). Masalahnya, perangkat MAGNAVOX MX-1502 yang jauh-jauh kami datangkan dr Torrance, CA jadi “budeg”, dan tidak bisa mendeteksi satelite pass yang lewat di angkasa di atas Jakarta (diperlukan minimal 3 lintasan satelit untuk computing posisi/lokasi kami saat itu). Selidik punya selidik, dengan Spektrum Analyzer bisa dideteksi bahwa udara Jakarta dari seputaran bunderan HI (jl Thamrin) sampai teluk Jakarta ternyata dipenuhi “luberan” pancaran pemancar-pemancar di band 2m (MESTINYA-nya sih bekerja di spektrum 144–148 MHz) yang seolah mengambang, menutupi dan mengeblok sinyal di frekuensi 150 Mhz yang datang dari satelit-satelit yang melintas diatas sana. 
(kurang lebih seminggu sebelumnya, demo serupa berhasil dengan sempurna waktu kami adakan di sebuah hotel di Singapura, dengan antena yang di”glethakin” begitu aja di teras hotel).
Masih “urusan dalam negeri”, pada kurun waktu yg hampir sama, upaya beberapa rekans di beberapa bagian Jakarta – umumnya di Jakarta Barat dan Utara (tidak termasuk saya yang waktu itu tinggal di Jakarta Timur), untuk me-monitor dan memberikan laboran penerimaan sinyal yg dipancarkan roket-roket eksperimentil yang diluncurkan LAPAN dari Pamungpeuk juga gagal, karena sinyal tersebut tidak bisa “menembus” udara Jakarta yang sudah demikian crowded dengan spurious signals dari pemancar-pemancar “liar” tersebut.
Dan, yang menyangkut nama NKRI di percaturan publik telekom internasional adalah gangguan-gangguan (interference) yang ditimbulkan oleh sinyal yang dipancarkan oleh pemancar-pemancar liar tersebut kepada jaringan atau trafik telekomunikasi lintas batas atau internasional, misalnya pada kasus-kasus berikut:
1. di band VHF: repeater pd satelit-satelit OSCAR/orbitting satellite carrying amateur radio secara otomatis akan dimatikan setiap kali melintasi wilayah udara Indonesia, karena transmitter-nya akan terpicu oleh spurious signals dr daratan Indonesia untuk bekerja secara terus menerus (continuously ON) – yang dapat meng-degradasi-kan kinerjanya atau bahkan bisa rusak karena kepanasan, serta kehabisan “tenaga” karena suplai dari baterai tenaga surya (solar cells) yang kapasitasnya memang terbatas tidak cukup cepat utk recovering power drain yang berlebihan akibat terus-terusan ON tsb.
2. di band HF: gangguan pada MARITIME DISTRESS FREQUENCY 2.8xx MHz (komunikasi emergency atau “marabahaya”) oleh pancaran-pancaran “liar” di frekuensi sekitar 3 MHz (gelombang 100m, karenanya operator yang bekerja di situ biasa disebut dengan sebutan “operator cepèkan” (cepèk = 100 dlm dialek Mandarin “pasar”).
(BTW, sebenarnya banyak di antara operator cepèkan ini adalah tehnisi yang handal, karena rata-rata yang bekerja disitu menggunakan homebrew radios (radio yang mereka bikin sendiri), yang secara tehnis banyak yang memang bagus kwalitasnya, hampir layak disebut sebagai work of art (kerja seni). Tapi itulah, sebagai seniman di bidangnya, kebanyakan mereka tidak mau repot dengan hal-hal “administratip” seperti urusan pendaftaran, ujian, batasan frekuensi, power output dan sebagainya, yang dianggap mengganggu “kebebasan” mereka) 
Hal yang sama bisa juga terjadi pada kanal emergency yang lain di 8.2xx Mhz, atau pada frequency yang digunakan oleh ATC/air traffic controller untuk mengatur lalulintas pernerbangan (gangguan pada frekuensi ini lebih banyak disebabkan oleh pancaran harmonisa (harmonics) dan spurious dari pemancar yang bekerja di rentang frekuensi 4 – 6 MHz)
3. Hal-hal illegal akan tumbuh subur di habitat yang illegal pula: dimana-mana merebak illegal logging (pembalakan liar), illegal mining (misalnya penambangan pasir besi), illegal fishing (ini malah diperburuk dengan beroperasinya kapal-kapal nelayan asing yang mencuri ikan diperairan NKRI). 
Illegal operation atau business di berbagai sektor tersebut memerlukan radio untuk menunjang operasi mereka: komunikasi antara kantor pusat (biasanya di Jakarta) dengan lapangan, koordinasi lojistik, koordinasi transaksional (misalnya proses delivery logs/kayu gelondongan hasil pembalakan liar, atau mineral hasil penambangan liar: pasir besi, bauxit, batubara …) kepada pembeli atau penadah yang dilakukan di tengah laut, atau diperairan perbatasan dengan negeri tetangga. 
Di lapangan mereka menggunakan perangkat VHF (= rig dan HT 2m) atau ada juga beberapa yg menggunakan perangkat UHF di band 70cm, misalnya untuk komunikasi jarak dekat dan LOS/line of sight (= sepanjang garis pandang lurus tanpa penghalang/ obstacle antara pengguna), misalnya untuk komunikasi di lingkungan SATPAM/satuan pengamanan, atau petugas sekuriti perkantoran, sedangkan untuk komunikasi antar pulau, darat-ke-kapal atau sebaliknya, atau antar kapal mereka menggunakan alkom (alat komunikasi) yang bekerja di band HF.
Alkom yang “relatip murah” adalah alkom yang khusus diproduksi untuk penggunaan di amatir band; yang kebanyakan adalah buatan dan merk-merk dari Jepang, seperti Yaesu, Kenwood, ICOM, Alinco .. atau sedikit merk Amerika seperti TenTec, SGC, Elecraft. Kecuali merk Elecraft, semua produsen tersebut juga mengeluarkan versi (untuk penggunaan di lingkungan) komersial, bahkan versi militer. 
Nah, tentunya bisa dibayangkan bagaimana semrawutnya spektrum frekuensi HF dan VHF yang dipenuhi pancaran “liar” dari pengguna “liar” seperti ini. Apalagi dalam kondisi propagasi dan jam-jam tertentu pancaran di band HF bisa diterima (dipantau) dan terdengar serta mengganggu di tempat yang ribuan KM jaraknya dari asal pancaran. 
Atas gangguan tersebut protes resmi dalam berbagai bentuk sudah disampaikan ke fihak otoritas NKRI, juga dalam forum atau sidang badan-badan regulatory international (seperti ITU, atau forum NGO yang membidangi telekomunikasi seperti IARU, WARC dan sebagainya). Dari tahun ke tahun perwakilan NKRI harus bertebal (dan merah) muka menghadapi cecaran komplaint dari berbagai fihak yang merasa terganggu dan dirugikan.
Kembali ke dunia nyata, sweeping yg secara sporadis dilakukan sering terjadi malah “salah sasaran”: bisa terjadi malah setasiun amatir radio resmi yg digerebek, pemilik setasiun harus bisa menunjukkan IAR dan KTA-nya yg ASLI (bukan fotokopi), atau dicari–cari kesalahannya seperti harus bisa menunjukkan Invoice (bukti pembelian) dari pemancarnya, surat izin penggunaan pesawat (IPPRA), Logbook, papan nama …. dan sebagainya. 
Juga terjadinya “tebang pilih” dalam pelaksanaan sweeping, di mana Petugas hanya berani melakukan sweeping di dan ke daerah-daerah pinggiran, kalau perlu sampai masuk ke gang-gang sempit (asal dari jauh kelihatan ada tiang antena yg terpancang). 
Jarang atau bahkan tidak pernah terdengar sweeping dilakukan di rumah-rumah berpagar tinggi dan dijaga SATPAM, walaupun sudah menjadi rahasia umum SIAPA oknum di belakang illegal logging, illegal mining dan hal-hal lain yg serba illegal tersebut.
Yang lebih mengesalkan lagi adalah banyak kasus dimana sweeping tersebut adalah sekedar ”kedok” dari ulah jahil Petugas, karena penyelesaian “damai” atau “di bawah meja” selalu ditawarkan pada kesempatan pertama (yup, peng-ejawantah-an tersamar (disguised manifestation) dari policy yang serba UUD, yg menjadikankan lemah dan mandulnya fungsi Law enforcement seperti disebut di depan)
4. Tentang Habibie’s kids 
Despite apa yg disampaikan OM Onno, quote … “Memang awal Internet di Indonesia di motori oleh kita-kita yang belajar di luar negeri karena beasiswa utangan World Bank & juga dari MENRISTEK waktu itu … saya sendiri dapet-nya dari World Bank tapi jalur DIKNAS bukan RISTEK” … unquote, 
Sebagai seorang amatir saya lebih setuju dengan yang mbak Titut bilang, quote …. “it was people of your kind, the hobbyists that had nothing to do with Indonesian government, who set the baseline for Internet establishment in Indonesia … unquote, karena doing things tanpa pamrih, tanpa mengharapkan imbalan materi dalam membawa diri dan bangsanya untuk selalu berada di depan dalam penguasaan iptek/ilmu pengetahuan dan teknoloji adalah sejalan dengan yang tersirat dalam kode etik ke 3 Amatir Radio: 
The Radio Amateur is PROGRESSIVE … with knowledge abreast of science ….+)
+) Kode Etik Amatir Radio aslinya ditulis Paul M Segal W9EEA di tahun 1928, yang mencantumkan (disingkat):
The Radio Amateurr is: CONSIDERATE, LOYAL, PROGRESSIVE, FRIENDLY, BALANCED and PATRIOTIC .
Saya pribadi – walaupun bukan jebolan ITB – dengan melihat nama-nama yang “terlibat” dalam kisah “mulo bukané internet ing tanah Indonesia” (eh, mbak Titut ini berlatar belakang etnis Jawa dan berbahasa ibu (mother’s tongue) Jawi bukan sih?), kok lebih cenderung untuk menyebut mereka ini sebagai the Iskandar Alisyahbana’s kids.
Prof. Iskandar Alisyahbana adalah rektor ITB yang semasa menjabat selalu menekankan fungsi kampus dan civitas academica sebagai “the agent of CHANGE”, tentunya salah satunya adalah perubahan dari kita — sebagai bangsa – yang semula “bodo” (may I name it: scientifically retarded) menjadi “pinter” dan melek teknoloji. 
Perubahan berupa lompatan ke depan di bidang telekomunikasi Indonesia yang semula berbasis teknoloji HF ke teknoloji satelit pada orde Giga Hertz adalah “baby” beliau, dan dimotori oleh anak-anak didik beliau. Teknoloji komunikasi data, internet dan sebagainya yang merupakan pengembangan atau a step forward di bidang teknoloji telekomunikasi tentunya tidak lepas dari sentuhan tangan-tangan dingin (atau tangan-tangan emas?) the Iskandar Alisyahbana’s kids ini.
5. Tentang regulasi (Policy yang berubah, kontroversi tentang istilah Organisasi, wadah tunggal, dll ) 
Regulasi berupa Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, Keputusan Dirjen dan sebagainya dapat disimak di tulisan ORARI sebagai wadah tunggal, sedangkan perubahan kebijakan dalam pengaturan frekuensi (Band plan) yang paling current tercantum dalam PerMen 33/2009. 
[kedua “dokumen” saya sertakan pada halaman Policy & Regulation pada laman ini] 
[Bagi saya pribadi yang sudah lebih dari 40 thn menggeluti hobby ini, perubahan kebijakan yang cukup signifikan adalah diberikannya privilege (dengan batasan-batasan tertentu) bagi amatir tingkat SIAGA, yang melebihi privilege bagi amatir tingkat NOVICE di Amerika, yang selama ini bisa dbilang menjadi rujukan hampir semua institusi radio amatir di dunia (a.l. diperbolehkannya tingkat Siaga untuk bekerja dengan mode Voice di band 40m, yang semula merupakan privilege eksklusip bagi penyandang tingkat Penggalang dan Penegak, apalagi dengan Permen 33/2009 tersebut spektrum band 40m sudah diperlebar 100 KHz dari semula hanya dari 7.000 – 7.100 MHz menjadi dr 7.000 – 7.200 MHz]
6. I’ve learnt: menulis urutan sejarah itu susah ya? 
Yessss, indeed …. saya yang ikut dalam Tim Penelusuran Sejarah ORARI Pusat merasakan itu juga (!)
Banyak masukan dari mereka yang memang bisa masuk kategori “pelaku sejarah” (malah dengan embel-embel: “jangan lupa dimasukin ya … !?”), tetapi banyak di antara masukan tersebut yang sifatnya subjective, sehingga lebih cocok untuk disebut sebagai sekedar memoar dari yang bersangkutan ketimbang sebagai sebuah dokumen sejarah. 
Memoar lebih cocok diterbitkan di BLOG yang bersangkutan (nah, ini bisa jadi bahan disertasi anda juga kan ..!?), atau dijadikan bahan bagi penulisan otobiografi atau biografi seseorang, tapi TIDAK untuk menjadi bahan bagi penulisan sejarah.
[Kalau penyuntingnya pinter, di samping sebagai compilation of memoars, Blog juga bisa jadi KRONIK (chronicle), penyampaian secara runut dan urut kejadian (event, happening) yang berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan si Blogger]. 
Nah, bisa dibayangkan bagaimana tebal (dan membosankan)–nya sebuah dokumen sejarah yang hanya sekedar merupakan hard copy atau printout dari Blog (atau Blogs) dari seorang atau sekelompok zo genaamd “pelaku sejarah” seperti itu kan … !? 
Atau, sederhananya – siapapun akan cepet jadi bosan dan fed up kalau harus membaca potongan-potongan cerita yang saya tulis secara random di sepanjang imil ini, dimana berulang kali disebut SAYA, SAYA dan SAYA sebagai pelaku atau nara sumbernya .., kecuali kalau semua itu saya kumpulkan dalam satu memoar, atau kronikel, yang saya bagikan gratisan kepada mereka yang memang ‘nge-FAN abizzzzz sama saya 😉
Penutup
For sure orèk- orèkan ini TIDAK akan bisa anda masukin di Bab I makalah anda, tapi paling ‘nggak bisalah kiranya menjadi bahan rujukan, atau pun sekedar buat dibaca-baca di ruang tunggu kalau mau bertemu Philip Kitley, dosen pembimbing Anda. 
Semoga juga ini bisa menjadikan anda tahu lebih dekat tentang berbagai aspek dari Radio Amatir (the hobby, kegiatannya) yang begitu beragam, Amatir Radio (the individuals), ORARI (the organization), dan sebagainya
Di samping untuk menambah wacana, barangkali bisa juga untuk bahan cerita ke anak cucu kalau misalnya ada yang nanya: “Apa aja sih yang buDe (atau eyang putri) Titut pelajari selama ing paran (di rantau, di ose-tra-lia*) ini) ???
[OOT, sekedar berbagi cerita: saya sendiri yang sebelumnya pernah merasa “tidak perlu tahu” terus jadi berbalik 180 degrees jadi “pingin & mau tahu” lirik lengkap dari lagu (keroncong) Yen in Tawang ono Lintang (“hit” dari penyanyi keroncong legendaris Waljinah) – – yang sampai sekarang (setelah tahu) suka jadi bikin mata basah dan dada nyeseg — justru karena suatu pagi di thn 1983 di coffee shop Hiruton Hoteru (Hotel Hilton) Tokyo (thus dalam sikon ing paranjuga) diputerin lagu itu, waktu suatu pagi saya jadi orang pertama yang masuk ke situ, janjian sama si Jepun yang jadi host selama saya berada di sana.
Di samping ada cook yang “orang Jawa”, the following morning saya baru “ngah” coffee shop itu namanya “Bengawan Solo” (pernah dipakai untuk menjamumaestro Gesang waktu beliau diundang komunitas fans beliau, yang kalau tidak salah belakangan juga sampai berhasil mengusahakan bahwa beliau mendapatkan royalty untuk lagu-lagunya yang cukup banyak penggemar di Jepun sono). 
Belakangan lagi, setelah di suatu hari minggu saya minta diantar Yoshi-san (yg host saya itu) ke toko buku Dempa (one of leading publishers and book stores di Jepun) di Sinjuku untuk cari majalah CQ edisi terakhir (ini majalah komunitas radio amatir Jepun, diterbitkan oleh JARL/Japan Amateur Radio League), saya baru “ngah” kalo’ Yoshi-san ini walaupun BUKAN amatir radio, tapi pernah ikut dalam/sebagai Support Team pada beberapa kali ekspedisi petualang, pendaki gunung, penjelajah kutub Naomi Uemura JG1QFW, amatir radio Jepun yang sudah menaklukkan 4 puncak gunung tertinggi di bumi (Kilimanjaro di Tanzania, Aconcagua di Argentina, MontBlanc dan Matterhorn (dua-duanya di sisi yang berbeda dari peg. Alpen, Switzerland), mengarungi (rafting) S Amazone dan melintasi kutub Utara dan Selatan – yang semuanya dilakukannya dengan berjalan kaki (kecuali tentunya waktu rafting di S Amazone), seorang diri. 
(saat makan siang di kantin perusahaan, Yoshi menunjukkan tangannya, yang beberapa jarinya terpaksa dipotong karena frost-bite, waktu suatu malam tanpa sadar tangan tersebut(tanpa gloves) terjulur keluar dari “pintu” kemahnya). 
Setahun sesudah perkenalan dengan Yoshi-san tersebut, media dunia a.l. majalah TIME dan QST, majalah amatir terbitan ARRL/American Radio Relay League edisi May, 1984) memberitakan bahwa pada 13 Februari 1984 Naomi “menghilang” di kebekuan (dan kegelapan) udara di lereng Mt McKinley, gunung tertinggi di Kutub Utara (Arctic) …., jauh di utara Alaska sana.
Pada kontak (radio) terakhir dengan pilot pesawat yang membawa juru foto yang “menjejaki”nya, Naomi menyebutkan bahwa dia SUDAH dalam perjalanan turun dari puncak Mt McKinley (yang kali ini mau ditaklukkannya LAGI, seorang diri, di musim dingin pula, dg suhu rata-rata minus 46 deg. C), dan sedang berusaha untuk mencapai basecamp dalam 2 hari. 
Keesokan harinya pilot lain sempat melihatnya bergerak di ketinggian 5.100 mtr DPL – dan itulah terakhir kalinya Naomi terlihat (spotted) dalam keadaan hidup.
20 Febr cuaca sedikit membaik, dan dua orang pendaki berpengalaman diterjunkan pada ketinggian 4.300 mtr DPL untuk mengawali pencarian. Mereka tinggal di “atas” selama seminggu, dan menemukan gua yg sempat disinggahi Naomi. Mereka menemukan agenda (diary) Naomi di gua itu, dan mendapati bahwa Naomi sempat meninggalkan sebagian bawaannya untuk mengurangi beban dalam upaya pendakian ke puncak.
Tim rescuers lain yang menyusul kemudian menemukan barang-barang Naomi lainnya di ketinggian 5.200 mtr, tetapi tetap tidak ditemukan tanda-tanda kehidupan sang pendaki …
Sepotong bambu yang selalu diselipkan tegak di pundaknya (supaya bisa terlihat dari jauh, dan juga sebagai penanda kalau dia sampai jatuh kedalam lubang) di temukan di ketinggian 2.900 mtr, membuat orang berkesimpulan bahwa bambu tersebut sengaja ditinggalkan Naomi yang merasa sudah mencapai ketinggian “aman”, di mana kecil kemungkinan dia sampai terperosok ke rekahan es (crevasses) yang banyak ditemui di ketinggian yang lebih atas.
Betapapun, jasad Naomi tidak pernah diketemukan lagi ….
RIP (requiescat in pace), OM …. sebagai sesama amatir I’m very proud of you, sama bangganya (mongkok, bhs Jawa) kalau dengar nama OM Onno, OM Yono, atau yang satu generasi sebelumnya Taufik Akbar, yang bersama Pratiwi – mikro biologist UI adalah calon-calon astronot INA yang sudah sempat di”asrama”kan di Mabes NASA sono, tapi gagal untuk sampai meng-orbit karena pada last minutes ada perubahan policy terkait situasi politik dalam negeri yang “tidak kondusip” pada waktu itu, atau barangkali suatu hari (in the very near future, I hope) nama YL Endah Triastuti disebut-sebut di percaturan “orang pinter” tingkat global (yang membuktikan bahwa tulisan Hill: “Indonesia does not have a “technology policy” TIDAK 100% benar adanya (!)
(seperti yang sudah dibuktikan oleh Prof Yohannes Suryo dengan “mencomot” bibit-bibit unggul dari seantero pelosok negeri (termasuk dari Papua, yang justru bisa dijadikan andalan), dan secara institutional oleh sejumlah sekolah, baik yang berakreditasi “International standard” maupun bukan, yang telah menghasilkan sejumlah siswa SLTP/SLTA yang bisa berprestasi dan meraih berbagai Awards bergengsi di berbagai kompetisi Internasional yang diselenggarakan di manca negara)
Amiiiiiin …. 
*) syahdan, menurut kisah “yang empunya cerita”, kata Australia berasal dari kata ”ose tra lia” (harafiah: kamu tidak melihat), ungkapan kesal seorang pelaut Banda (hence sekarang ada yang namanya SAIL BANDA: lomba perahu layar international melayari perairan antara Darwin (di Northern Territory Australia) ke Kep. Banda di Maluku) yang berabad silam berdiri di tiang layar dan teriak-teriak ke rekannya di bawah, meneriakkan bahwa dia sayup-sayup melihat daratan di depan sono. Menjawab pertanyaan yang diteriakkan dari bawah: “Ahoiiiii, daratan apaaaaa ???”, dorang dengan kesal menjawab: “Aiiii, ose tra lia ……!!!” 
Dan, sejak itu …. orang menamai “daratan yang jauh di laut Selatan” yang baru ditemukan tersebut sebagai Ose-tra-lia, yang (kata “yang empunya certa” lagi) oleh para bulé di salah kupingkan jadi Australia seperti yang sehari-hari kita dengar sekarang ini (percaya aja deh …. !!!)
EOM
(di dunia radio, berarti “end of message”)
YB0KO, Bambang Soetrisno