http://tomita.web.id/sesuatu-dari-puing-radio-malabar-bagian-3/
Sesuatu dari Puing Radio Malabar (Bagian 3)
Saya menemukan terlalu banyak data, yang ketika saya baca membuat saya lumayan bingung (karena sebagian besar dalam bahasa Belanda). Terjemahannya via Google Translate ke bahasa Indonesia kacau, maka saya berharap ke bahasa Inggris. Ternyata itu juga sama kacaunya. Nama de Groot kadang diterjemahkan de Groot, tapi kadang menjadi Great, bahkan Davis! Aneh. Akan tetapi somehow saya harus menyelesaikan seri tulisan ini. Saya putuskan ini akan saya akhiri hingga bagian 4 nanti. Ini bukan berarti saya berhenti. Saya bahkan telah memulai sesuatu tentang ini, yang kurang lebih satu bulan dari sekarang akan saya umumkan 🙂
Pendirian Radio Malabar tidak lepas dari kebutuhan Komunikasi antar benua dari Belanda ke Indonesia, dan sebaliknya. Di awal masa perang dunia pertama, infrastruktur komunikasi sebenarnya sudah ada. Bentuknya antara lain :
-
Sambungan kabel yang menghubungkan Jerman, Inggris, dan Amerika yang juga dapat dimanfaatkan oleh Belanda. Sambungan kabel ini dalam sejarahnya diperluas hingga India, Cina, Singapura, dan Australia. Kabel ini ditempatkan di dasar laut, dan disebut Sub-Marine Communication Cable. Akan tetapi pada awal perang dunia pertama tersebut Belanda bermusuhan dengan Jerman dan komunikasi melalui kabel tersebut tidak terenkripsi. Padahal sebagian besar isi komunikasinya berkenaan dengan kepentingan militer.
-
Eksperimen komunikasi dari Nederland ke kepal-kapalnya di laut menggunakan telegrafi (morse), tapi jaraknya tidak bisa jauh, apalagi sampai Indonesia (dulu disebut Dutch East Indies). Informasi ini dari situsnya Rudo Hermsen.
Keduanya jelas memberikan batasan yang tidak memungkinkan komunikasi antara Belanda – Indonesia. Kebetulan Johannes Cornelius de Groot sedang membuat sebuah thesis yang judulnya The Influence of Tropical Climate on the Radio (de invloed van het tropisch klimaat op de radioverbinding). Thesis itu dikembangkan berdasarkan pengalamannya mendirikan stasiun telegrafi di Sabang (1911) dan tiga berikutnya di Ambon, Timor, dan Situbondo (1913). Pada tanggal 5 Juni 1916, ia lulus mempertahankan thesisnya tersebut dengan predikat cum laude, di bawah bimbingan Prof. C.L Vanderbilt di Belanda. Inti dari thesisnya adalah hubungan langsung radio antara Belanda dan Indonesia pada dasarnya mungkin diwujudkan. Dalam perjalan kembalinya ke Indonesia, kapal yang ditumpanginya mampir di San Francisco; tempat di mana ia akhirnya mengenal dan membeli pemancar Arc Poulsen.
Setelah tiba di Indonesia (Bandung) pada akhir tahun 1916, de Groot dipromosikan sebagai kepala Radio Service. Ia menerima posisi itu, apalagi sejak usia 15 tahun ia sudah menjadi seorang amatir radio yang gemar bereksperimen dengan radio pemanar dan penerima. Ketika itu pemerintah Belanda telah menginstruksikan pembangunan stasiun Radio Malabar, yang pada awal tahun 1918 telah selesai berdiri. Percobaan awal untuk transmisi telegrafi ternyata berhasil, tapi sayangnya di Belanda sana belum ada stasiun penerimanya. Untuk sementara, alat penerima transmisi telegrafi ini dibuat sendiri dan dipasangkan pada kapal-kapal perang Belanda yang mondar-mandir Belanda – Indonesia.
Pemerintah Belanda memberi apresiasi pada usaha de Groot. Ini dibuktikan dengan keluarnya sebuah surat tertanggal 1 September 1917. Surat itu diterbitkan oleh Departemen Kolonial dan ditujukan ke Departemen Kelautan :
Tindak lanjutnya adalah respon dari pemerintah Belanda dalam bentuk studi kelayakan untuk komunikasi telegrafi tersebut. Ini dipimpin oleh Dr. N. Koomans, yang akhirnya mengarah pada pembelian dua mesin buatan Telefunken. Satu ditujukan untuk dipasang di Belanda, dan satu lagi di Radio Malabar. Tapi di Radio Malabar sudah ada Arc Poulsen yang dibeli de Groot. De Groot tetap bersikeras menggunakan Arc Poulsen meskipun mesin Telefunken itu akhirnya sampai Bandung juga. Stasiun telegrafi di Belanda itu akhirnya dibangun di Sambeek, tepatnya di sebuah pedesaan bernama Kootwijk. Maka stasiunnya disebut Stasiun Kootwijk. Dengan ini maka dapat disimpulkan bahwa Radio Malabar sebenarnya sudah berdiri cukup lama sebelum peresmiannya tahun 1923. Tahun itu baru diresmikan karena ketika itu di Belanda sudah ada stasiun yang dapat memberi respon.
Akhirnya tanggal 5 Mei 1923 stasiun Radio Malabar diresmikan, melalui sebuah acara yang dihadiri Gubernur Jendral Dirk Fock. Sekurangnya situs di Wikipedia dan situs biografi-nya de Groot mengatakan bahwa hari itu transmisi telegrafi dari Radio Malabar ke Kootwijk mengalami kegagalan. Dirk Fork ketika itu bermaksud mengirim pesan ke Ratu Belanda. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana hari itu jadinya. Ada yang bilang itu karena petir, ada yang bilang itu karena transmitter Arc Poulsen-nya gagal bekerja. Katanya juga peresmian jadi ditunda. Beberapa hari kemudian baru transmisi itu berhasil. Ini semua diliput oleh media cetak ketika itu, yang menimbulkan cercaan pada de Groot. Sebuah komisi penyelidikan pada kegagalan itu bahkan dibentuk, tapi de Groot tidak mendapatkan hukuman.
Ini agak overexposed, tapi beginilah suasana demo transmisi telegrafi ketika itu : (sumber: koleksi foto museum Tropen – Belanda)
Dengan pesatnya perkembangan teknologi radio ketika itu, yang terutama disokong oleh eksperimen-eksperimen yang dilakukan para anggota amatir radio, komunikasi telegrafi yang menggunakan daya listrik besar (ribuan kilowat) pada gelombang panjang (long wave) mendapat tantangan dari gelombang pendek (short wave) yang hanya menggunakan beberapa kilowat saja. Panjang gelombangnya pun hanya berkisar 10 hingga 100 meter namun mampu menjangkau jarak yang jauh. Beberapa testimoni awal tentang gelombang pendek ini :
-
Seseorang yang bernama Alexander Constant de Groot yang tidak lain adalah keponakan dari Johannes Cornellius de Groot, yang entah dia, atau seseorang yang bernama Ir. Langendam, pada bulan Juli 1925 telah berhasil melakukan kontak telegrafi pada gelombang pendek dengan Stasiun Kootwijk. Saya tidak pasti tentang ini karena teks yang saya baca dari bahasa Belanda yang diterjemahkan sangat kacau oleh Google Translate. Dokumennya saya dapatkan dari apa yang ditulis oleh J.V. Drunen pada sebuah publikasi organisasi amatir radio pertama di Indonesia (Nivira), yaitu CQ-PK.
-
Pada bulan Maret 1927, stasiun penerima di Rancaekek menerima sebuah pancaran dari laboratorium Philips di Eindhoven pada gelombang pendek. Isinya adalah siaran kata dan musik. Pengirimnya adalah J.J. Numens, seorang mahasiswa sekolah teknik (TH) di bawah bimbingan Dr. Balth. van der Pol.
C.J. de Groot mengakui kelebihan transmisi pada gelombang pendek, namun meragunakan pada praktiknya jika terlalu banyak stasiun yang bekerja sekalilgus. Ia akhirnya melakukan percobaan yang sama dengan memodifikasi apa yang ada di Radio Malabar untuk transmisi telefoni pada gelombang pendek (17,4 m) hingga Mei 1927. Koomans pada saat itu juga melakukan hal yang sama. Keduanya digambarkan sebagai bersaing sengit. Di satu sisi de Groot menggunakan Arc Poulsen, di sisi lain Koomans di Kootwijk menggunakan Telefunken. J.G. Visser yang menulis biografi de Groot mengatakannya sebagai “De verrichtingen van de vooraanstaande radiorivalen begonnen zo langzamerhand het karakter van een nek-aan-nekrace te krijgen” (diterjemahkan oleh Google Translate menjadi “The operations of the leading radio rivals began gradually the character of a neck-and-neck race to get”.)
Dengan diproduksi-secara-massalnya stasiun pemancar oleh Philips dan gelombang pendek semakin banyak terisi oleh transmisi dari berbagai negara, sebuah konperensi untuk mengatur itu diadakan di Washington. C.J. de Groot datang ke acara itu, yang sepulangnya ia memutuskan untuk pergi ke Belanda. Namun di atas Laut Merah, Terusan Suez, ia meninggal karena serangan stroke. Tidak ada informasi tentang apa yang terjadi dengan Radio Malabar setelah de Groot meninggal. Namun orang yang menjadi kepala stasiun Radio Malabar berturut-turut dituliskan oleh plang di Gunung Puntang, yang telah saya tulis sebelum ini. Sebagai tambahan orang penting di samping de Groot adalah Willem Vogt dan Klaas Dijkstra. Dijkstra sangat rajin membuat catatan, sehingga tahun 2006 diterbitkan sebuah buku yang memuat semua catatannya. Sayang buku ini sudah langka di Belanda, yang ada pun sudah bekas, sementara harganya sangat mahal.
Hal penting yang harus dikemukakan adalah tentang mengapa Radio Malabar hancur (atau dihancurkan). Ada beberapa penjelasan yang untuk semuanya saya tidak memilih salah satu, meski ada yang tidak masuk akal juga :
-
Radio Malabar hancur karena banjir. Menurut saya ini ngawur. Rudo Hermsen yang menulis ini di situs sejarah pabrik peralatan transformator-nya. Mana mungkin Gunung Puntang bisa banjir ? Memang ada sungai di sebelahnya (Sungai Cigeureuh), tapi sangat kecil kemungkinannya untuk bisa meluap hingga ke Radio Malabar.
-
Radio Malabar hancur karena dibom oleh pesawat-pesawat Jepang. Ini juga tidak masuk akal karena ketika pertama Jepang masuk yang dilakukannya adalah propaganda. Tentu saja pemancar radio sangat strategis untuk keperluan itu. Sebuah tulisan blog pada situs ini memperjelas hal itu berdasarkan sebuah buku karangan Voskuil.
-
Pihak Belanda mempreteli semua mesin dan peralatan yang ada di Radio Malabar dan menghancurkan sisanya karena khawatir akan digunakan oleh Jepang. Kalau dipreteli masih masuk akal, tapi kalau dihancurkan saya agak kurang percaya. Situs yang mengutip bukunya Voskuil tadi menjelaskan bahwa bahkan pihak Jepang sempat menggunakannya.
-
Dihancurkan oleh para pejuang kemerdekaan. Rudo Hermesen masih di situsnya itu menjawab salah satu pengunjungnya dengan mengutip Hans Vles, pengarang buku Hallo Bandung, menuliskan: “Malabar is rond 1947 opgeblazen door de tegen de Nederlanders opgehitste pelopors/pemuda’s, de merdeka schreeuwende jongens met rood/witte banden om de kop.” (Malabar is inflated by around 1947 agitated against the Dutch pelopors / pemudas’ s, the Merdeka screamingboys with red / white bands around the head.). Ini lebih masuk akal, yang kalau kita lihat dari sisi sejarah Indonesia, pada sekitar tahun itu (sebenarnya 1946), terjadi peristiwa Bandung Lautan Api, di mana fasilitas-fasilitas Belanda di Bandung dihancurkan / dibakar untuk mencegah mereka datang kembali).
Ada tanggapan yang menarik yang datang dari rekan Amatir Radio, yaitu Pakde Bam (YB0KO). Katanya beliau pada tahun 1976 mengantarkan seorang warga Belanda yang bernama de Groot dan mengaku masih ada hubungan saudara dengan pendiri Radio Malabar itu. Wah, saya kaget membaca ini. Apakah ini yang dimaksud adalah Alexander Constant de Groot yang callsign nya PK1PK ? Pada salah satu edisi buletin CQ-PK tahun 1981 ditulis :
yang kalau diterjemahkan kira-kira menjadi :
yang kalau diterjemahkan kira-kira menjadi :
“Alexander Constant de Groot telah meninggal di Hague pada 23 April 1973. Sebagai seorang ketua pertama dari perkumpulan radio kita (Komite PK), beliau telah melakukan banyak hal untuk mengumpulkan kembali para anggota PK senior. Kami sangat berterima kasih pada usaha rintisannya itu.”
Jadi siapa sebenarnya de Groot yang ditemani oleh Pakde Bam itu ? Saya juga tidak tahu, he, he… Tapi kalau dilihat ternyata ada tradisi untuk menggunakan nama marga pada orang yang berbeda. Bisa jadi yang datang tahun 1976 itu adalah de Groot yang lain. Atau, apakah mungkin si van Drunen itu menuliskan data yang salah ? Jangan-jangan itu memang A.C. de Groot ? Mudah-mudahan Pakde Bam masih bisa mengenali apakah wajahnya sama dengan foto yang saya muat pada tulisan sebelum ini.
Isu lain yang diangkat oleh Pakde Bam adalah apakah aktifitas komunikasi di Radio Malabar dapat dianggap sebagai cikal bakal kegiatan amatir radio di Indonesia ? (sekarang organisasinya dinamakan ORARI – Organisasi Amatir Radio Indonesia). Jawaban tentang ini menurut saya ada pada figur J.C. de Groot. Di satu sisi ia adalah pendiri dan teknisi utama Radio Malabar dan di sisi lain, bahkan dari sejak usia 15 tahun ia dicatat sebagai seorang amatir radio yang cakap. Bagi saya ada semacam conflict of interest di sini. Bisa saja terjadi ia memang melakukan eksperimen amatir radio secara pribadi, tapi ia melakukannya di Radio Malabar. Termasuk juga ketika ia melakukan kontak melalui gelombang pendek dengan Koomans dengan sebelumnya memodifikasi pemancar Arc Poulsen-nya. Figur de Groot ini dipertegas lagi ketika ia memperbaiki perlakuan yang diberikan pada seseorang yang bernama L.W.H. van Oosten, seorang petugas jaga stasiun telegrafi di pulau Sabang. Oosten melakukan eksperimen pada perangkat penerimanya, tapi kemudian mendapat teguran keras dari otoritas Belanda dan menganggapnya sebagai pelanggaran serius. De Groot ketika mendengar itu malah membelanya dan justru malah membuatnya mendapat penghargaan dari otoritas Belanda di Batavia. Saya berpendapat, kasus ini bisa menjadi gambaran pada apa yang mungkin juga dilakukan de Groot di Radio Malabar. Karena dedikasi dan cintanya pada radio, menjadi sullit untuk dibedakan ketika ia melakukan eksperimen komunikasi itu apakah sebagai pribadi atau sebagai teknisi Radio Malabar. Dengan demikian jawaban saya adalah: Radio Malabar memang bukan awal mula dari kegiatan amatir radio di Indonesia. Yang memulainya adalah de Groot yang kebetulan pada saat itu menjadi teknisi utama Radio Malabar.
Saya kira cukup dulu untuk bagian ketiga ini. Ingin saya tutup dengan sebuah pertanyaan: “Apakah kiranya cukup perlu untuk melakukan arkeologi sungguhan pada situs Radio Malabar yang sekarang ?” Maksud saya adalah dengan membersihkan rumputnya, mencoba untuk merekonstruksi ulang bangunannya, dsb, dsb ? Apakah ini terdengar berlebihan ? Tapi bukankah selalu bisa ada pembenaran soal begini kalau dikaitkan dengan kepariwisataan ? Yang saya tidak habis pikir adalah, kalau memang Radio Malabar dulu dihancurkan, apa sebenarnya mudah menghancurkan mesin-mesin dari Smit Transformatoren yang beratnya berton-ton itu ? dan jumlahnya cukup banyak ? Saya curiga masih ada yang tersisa di antara puing-puing itu, … dan itulah yang saya maksud dengan “Sesuatu dari Puing Radio Malabar”.
http://tomita.web.id/sesuatu-dari-puing-radio-malabar-bagian-3/